Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

MAHASISWA SEMESTER 7, UDA BOLEH SAMBAT?

Gambar
Sebuah  overthingking  yang berdilema. Tiga tahun kuliah akhirnya mengantarkan kita kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan kita ke  depan pintu gerbang perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Sekurangnya begitulah narasi yang menggambarkan kondisi mahasiswa semester 7 saat ini. Kita sama-sama memaklumi bahwasannya semester 7 merupakan masa yang cukup berat. Awal transisi dari seorang mahasiswa menuju sarjana. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan semester 7 merupakan pintu gerbang menuju kemerdekaan.  Awal transisi ini dimulai dengan Kukerta, Magang (atau dalam fakultas pendidikan dikenal dengan istilah PLP/Praktik Lapangan Persekolahan), yang kesemuanya membutuhkan penanganan ekstra. Belum lagi mata kuliah teori yang masih harus diambil, serta tuntutan untuk memulai menulis skripsweet . Pemakluman yang kita buat di atas, tentunya akan memiliki dampak. Layaknya hukum sebab-akibat. Sedikit kita ulas, jika nanti salah satu teman semester 7-mu be

MINORITAS

Gambar
- Sebuah pemikiran yang absurd. Jika kamu menyukai teh, maka kamu tidak bisa memaksakan seleramu pada penyuka kopi. Pun sebaliknya. Setiap individu manusia di seluruh penjuru dunia per meter kuadratnya sangat paham dan mengerti akan konsep ini. Namun, nyata dan fakta yang terjadi pada pada setiap individu maupun sekelompok individu yang mendiami salah satu planet di Galaksi Bima Sakti ini, mereka masih saja bahkan sering memaksakan kehendaknya pada orang lain. Teori pada buku tetaplah teori, meski telah dikutip dan menjelma menjadi teoritis, akan jatuh dan bertekuk lutut pada doktrin:  "Realita mah emang ga sesuai sama buku. Makanya kalo belajar jangan cuman baca buku, noh liat juga lingkungan sekitar." Namun yang terburuk dari kumpulan terburuk dari salah satu jenis manusia yang hanya melihat refleksi cahaya bintang 400 juta tahun yang lalu ini adalah mereka yang selalu merasa benar karena identitas mayoritas, lebih buruknya lagi mereka yang tidak hanya bangga melabeli dir

ROMANSA SENJA 3

Gambar
" Aku tidak butuh alasan untuk menyukai senja,  dan senja  tidak butuh  alasanku untuk menyukainya " "Kenapa kau begitu menyukai senja," kau bertanya padaku.  Aku diam saja, sibuk menikmati perpaduan semburat jingga senja yang berbenturan dengan beningnya permukaan laut, indah sekali.  "Heiii!!! Apa kau tidak mendengarku?" Ucapmu kesal sambil me-noel kepalaku.  Aku berpikir sejenak, retina mataku kini beralih ke awan yang mulai menggelap, menerawang. Indah sekali perpaduan putihnya awan dan langit yang membiru. Lagi, aku terpaku pada ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. "Heiii!!! Kau selalu mengacuhkanku. Aku pergi saja kalau begitu." Kau beranjak dari tempat dudukmu, tapi gerakmu kalah cepat dengan tanganku.  Tidak, kau tidak boleh pergi. Di sini saja bersamaku. Mata kita bertemu. Manik kelammu menatapku dengan tanda tanya dan juga kesal(?). Aku tersenyum, kau manis sekali dengan raut seperti itu. " Aku tidak tau kenapa aku begitu meyukai senj

ROMANSA SENJA 2

Gambar
“Aku harus terbiasa, karena nyatanya hidup ini ga pernah adil buat orang seperti aku.” “Aku pamit” , akhirnya ada yang mengeluarkan suara di antara kita setelah berjam-jam duduk dalam diam menikmati senja turun ke singgasananya. “Kamu baik-baik di sini, jangan nakal. Cepat-cepat wisuda. Jangan main terus. Jangan telat makan” , nyesss. Aku   mencoba sekuat tenaga menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Siap untuk diluncurkan ke pipi. “Kalo capek ya istirahat. Jangan mentingin orang lain. Kita ka dang harus egois buat kebahagiaan sendiri. Jangan polos amat jadi orang” , kamu masih saja bercoteh.   “Jangan keras kepala kalo dibilangin. Kalo ada masalah coba liat dari dua sisi. Aku tau kamu orangnya baik. Tapi keras kepalanya kadang nyebelin banget” , Ya Tuhan. Air mata yang sejak tadi ter tahan tak bisa lagi terbendung. Kenapa rasanya sesak. Bukankah kamu hanya pergi untuk me lanjutkan sekolah. Selesai itu kamu bakal balik lagi ke sini, kan? Hahaha. Aku te

ROMANSA SENJA 1

Gambar
Sore itu kau dan aku duduk di tempat favorit kala menikmati senja. Di pinggiran pantai tak jauh dari monumen yang menjadi ikon kota. Tamannya rindang dengan pohon-pohon tua yang besar dan rimbun. Sejuk, perpaduan hijau dan rindangnya   pe pohonan, semilir angin laut yang membelai lembut, debur ombak yang menghantam bibir pantai, dan senja yang mulai turun  keperaduannya. Damai, dan tentram. “Kamu suka senja, ya?” “Banget,” aku menjawab dengan mata yang terpejam. Berusaha untuk menikmati suasana sakral ini. “Kenapa?” Kau bertanya lagi. Aku menarik napas panjang sejenak. “Suka aja gitu dengan warnanya. Lagian senja identik dengan kesetiaan kalo kata aku sih. Emang dia bakal pergi setiap kali petang datang. Tapi setidaknya dia bakal kembali lagi di tempat dan waktu yang sama tanpa pernah mengingkarinya,” aku mulai berceloteh. “Asik benar dah. Hahaha,” kau tertawa dengan kurang ajarnya. “Iya, serius. Tapi kadang sayangnya ga semua petang menjanjikan pertemuan dengan senja

MONSTER YANG DISENGAJA

Gambar
Sapiens - Yuval Harari - Sebuah pemikiran semi f iksi Terinspirasi dari salah satu halaman buku Sapiens. Hidup dalam lingkungan yang selalu mengganggap apa yang kamu katakan benar dan jitu tak pelak akan membuatmu menjadi orang yang sukar untuk menerima pemikiran orang lain.  Suatu hari kau mendengar kalimat, "Udah, ko aja. Aku/kami mana bisa."   Saban hari kau mencoba bertanya, "Udah benar kok . Itu aja," pertanyaanmu tenggelam.  Besok kau mendengar lagi, "Ko ajalah. Cepat."  Syahdan, ahlan wa sahlan. Sadar tidak sadar, lingkunganmu sendiri telah menciptakan monster dalam dirimu yang selalu mengganggap rendah/remeh pemikiran orang lain.  Lebih jauh lagi, kau mulai selektif untuk menerima apa yang orang lain katakan/kerjakan. Orang menyebutmu perfeksionis, namun sejatinya tak ada lagi rasa percayamu pada mereka. Bahkan untuk hal remeh sekalipun. Hal ini diperparah dengan kepala yang selalu saja menggangguk terhadap apa yang kau katakan. Kau semakin pongah