ROMANSA SENJA 1

Sore itu kau dan aku duduk di tempat favorit kala menikmati senja. Di pinggiran pantai tak jauh dari monumen yang menjadi ikon kota. Tamannya rindang dengan pohon-pohon tua yang besar dan rimbun. Sejuk, perpaduan hijau dan rindangnya  pepohonan, semilir angin laut yang membelai lembut, debur ombak yang menghantam bibir pantai, dan senja yang mulai turun keperaduannya. Damai, dan tentram.

“Kamu suka senja, ya?”

“Banget,” aku menjawab dengan mata yang terpejam. Berusaha untuk menikmati suasana sakral ini.

“Kenapa?” Kau bertanya lagi.

Aku menarik napas panjang sejenak.

“Suka aja gitu dengan warnanya. Lagian senja identik dengan kesetiaan kalo kata aku sih. Emang dia bakal pergi setiap kali petang datang. Tapi setidaknya dia bakal kembali lagi di tempat dan waktu yang sama tanpa pernah mengingkarinya,” aku mulai berceloteh.

“Asik benar dah. Hahaha,” kau tertawa dengan kurang ajarnya.

“Iya, serius. Tapi kadang sayangnya ga semua petang menjanjikan pertemuan dengan senja. Ada kalanya hujan atau awan tebal yang menghalangi. Jadi kita harus sabar untuk menunggu besok lagi. Atau di saat kita lagi sibuk banget sampai-sampai ga sempat menjenguknya, dia bakal tetap ada di sana. Ga pernah dia ngambek atau sakit hati. Besoknya pasti dia bakal datang lagi. Intinya sih ada saling kepercayaan antara kita dan senja. Dan kita tau tempat dan waktu untuk mencurahkan rasa rindu.” Kau tidak lagi tertawa mendengarnya. Aku tersenyum, senang(?).

“Makasih, ya.”

“Untuk?”

“Untuk hari ini”

“Hahah. Sama-sama,” hening.

Aku mulai terpukau menyaksikan semburat jingga yang ditampilkan senja. Lalu lalang burung camar menambah kesyahduan ini. Biasanya aku selalu menikmati suasana sakral ini sendirian. Sekarang kau di sampingku. 

“Hei!!!?”

“Hmmm?” Aku menyaut dengan mata yang terpejam.

“Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan kan, kalo senja mah setiap perpisahan pasti ada perjumpaan kembali. Kamu percaya itu ga?”

“Percaya. Kayak yang aku bilang di awal tadi. Senja ga pernah mengingkari janjinya. Bahkan kita uda tau tempat dan waktu untuk berjumpa lagi. Tinggal masalah alam menyetujuinya atau ngga. Kita kan ga pernah tau kalo tiba-tiba mau hujan atau ada awan columbus yang nutupin senja atau bahkan karna kesibukan kita sendiri sampai lupa sama senja,” aku membuka mata. Mata kita bertumbukan. Sejenak aku terhipnotis karenanya.

“Senja pun kayak gitu. Tiap hari dia nampil rona yang berbeda lo. Kadang jingganya bagus banget, kadang mah cuman kuning biasa aja. Dan kita juga harus sadar kalo senja bukan milik kita sendiri. Dia milik semua umat di bumi. Kalo kita suka sama ronanya yang jingga, tapi dia malah nampilin kuningnya, kita harus sadar mungkin di ujung bumi sana ada pengagumnya yang menanti warna kuningnya. Tapi sebenarnya kalo kata aku sih, kita ga perlu berharap. Kita cukup menerima apa yang senja kasih. Kalo kita uda netapin mau ini mau itu, tapi akhirnya kita ga dapatin itu kan jadinya sakit hati,” aku mulai berfilosofi.

“Sama juga kayak orang. Kita ga perlu berharap lebih sama orang. Biar kita ga sakit hati. Karena toh kita ga ada mau ini mau itu. Dibeginiin syukur, dibegituin juga syukur. Pas pergi dia balik lagi, alhamdulillah. Tapi kalo dianya ga balik lagi yasudahlah.”

Petang itu aku berbagi filosofi senja dengan sok bijaknya dan kau tepekur dengan seksama memahaminya. Semoga senja tida tertawa terbahak-bahak mendengar ocehanku.

Punten ya, Nja. Peace.

Romansa Senja, Tanjungpinang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ROMANSA SENJA 2

HALO DESEMBER

CATATAN INTROVERT - LAMPU TEMARAM DI UJUNG JALAN